Riba Jahiliyah
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Istilah ini sering kita dengar dan kita perlu mengenalnya. Tidak hanya mengenal dalam arti pernah mendengar istilah, tapi juga harus mengenal hakekatnya.
Ada pepatah mengatakan,
عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ، ومن لا يعرف الشر من الخير يقع فيه
Aku mengenal keburukan untuk untuk mengamalkannya… namun untuk menghindarinya…
Siapa yang tidak kenal keburukan di tengah kebaikan, dipastikan dia terjerumus dalam keburukan itu.
Semua muslim benci syirik, memusuhi syirik. Namun sayang, banyak muslim yang tidak kenal hakekat syirik. Sehingga beberapa diantara mereka melakukan syirik, namun mereka menyebutnya ibadah.
Betul apa yang dipesankan Umar bin Khatab,
إنما تنقض عرى الإسلام عروة عروة إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية
Ikatan islam terlepas satu demi satu, karena muncul generasi dalam islam yang tidak kenal tradisi Jahiliyah. (Majmu’ Fatawa, 10/301)
Tentu saja kita tidak ingin mulut ini koar-koar anti riba, sementara kita sendiri adalah praktisi riba jahiliyah. Lebih dari itu, kita akan menimbang, bagaimana praktek riba di zaman ini, dengan cara orang jahiliyah mengambil riba.
Apa itu Riba Jahiliyah?
Kita akan simak beberapa keterangan ulama yang mendapatkan informasi dari para saksi sejarah, para sahabat yang pernah mengalami zaman tersebarnya riba.
Keterangan Zaid bin Aslam – ulama tabiin –,
كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ قَالَ : أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي ؟ فَإِنْ قَضَى أَخَذَ وَإِلَّا زَادَهُ فِي حَقِّهِ وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الْأَجَلِ
Bentuk riba jahiliyah, si A berutang kepada si B sampai batas waktu tertentu. Ketika tiba jatuh tempo, si B memberi tawaran kepada si A, “Lunasi utangmu sekarang atau ditambah bunga?” Jika si A melunasi ketika itu, maka tidak ada kelebihan apapun. Dan jika tidak melunasi ketika itu, si A terbebani tambahan yang harus dia bayarkan dan batas pelunasan ditunda. (HR. Malik dalam al-Muwatha’, no. 1371).
Sebagaimana tambahan ini berlaku pada kuantitas yang dibayarkan, tambahan ini juga berlaku pada kualitas yang dibayarkan. Misalnya, dulu utang sapi usia setahun. Ketika jatuh tempo, si A tidak bisa meluasi. Akhirnya waktu pelunasan ditunda, namun harus dibayarkan berupa sapi yang usianya lebih tua.
Disebutkan dalam riwayat lain, keterangan Zaid bin Aslam,
Riba jahiliyah itu peenambahan dalam usia. Si A berutang kepada si B seekor onta. Ketika datang jatuh tempo, si B menagih, “Lunasi sekarang atau tambah usia?”
Jika si A memiliki hewan yang bisa digunakan untuk melunasi, dia bisa bayarkan sesuai usia hewan yang diutang. Jika tidak ada, maka waktu pelunasan ditunda dan usia hewan untuk pelunasan ditambah. Begitu seterusnya, usianya selalu bertambah. (at-Thabrani dan tafsirnya, 7/205)
Keterangan lain dari Qatadah, seperti yang disebutkan al-Hafidz Ibnu Hajar, beliau menjelaskan riba jahiliyah dalam jual beli kredit, yang harganya bertambah ketika tidak bisa dilunasi ketika jatuh tempo,
إِنَّ رِبَا أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَبِيع الرَّجُل الْبَيْع إِلَى أَجَل مُسَمَّى , فَإِذَا حَلَّ الْأَجَل وَلَمْ يَكُنْ عِنْد صَاحِبه قَضَاءٌ ، زَادَ وَأَخَّرَ عَنْهُ
Bentuk riba jahiliyah, si A menjual barang kepada si B secara kredit sampai batas tertentu. Ketika tiba jatuh tempo, sementara si B tidak bisa melunasi, harga barang dinaikkan dan waktu pelunasan ditunda. (Fathul Bari, 4/313)
Syaikhul Islam mengomentari bentuk riba jahiliyah di atas,
وَهَذَا هُوَ الرِّبَا الَّذِي لَا يُشَكُّ فِيهِ بِاتِّفَاقِ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَفِيهِ نَزَلَ الْقُرْآنُ ، وَالظُّلْمُ وَالضَّرَرُ فِيهِ ظَاهِرٌ
Inilah riba yang tidak diragukan lagi keharamannya, dengan sepakat ulama salaf. Inilah riba yang dibahas dalam al-Quran. Nampak sangat jelas unsur kedzaliman dan bahayanya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/349).
Ada satu kesimpulan yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa utang di masa jahiliyah, tidak otomatis langsung ada ribanya. Riba baru berlaku ketika pada saat jatuh tempo pertama, utang itu tidak bisa dilunasi. Sehingga riba baru dikenakan untuk jatuh tempo kedua.
Kita bisa bandingkan dengan praktek riba di zaman kita.
Siapapun yang berutang di bank ribawi, apapun labelnya, perhitungan riba telah ditetapkan dari sejak awal utang. Sehingga sekalipun utang dibayarkan di batas jatuh tempo pertama, tepat waktu, debitor tetap dikenakan riba.
Kita bisa menilai, manakah yang lebih parah keadaannya?
Masalah pelipatan angka, itu hanya masalah waktu penundaan. Karena riba kontemporer juga bisa berlipat berkali-kali, jika ditunda dalam waktu lama.
Hanya Riba Jahiliyah yang Dilarang?
Sebagian orang beranggapan bahwa transaksi yang dikembangkan bank zaman ini, bukan termasuk transaksi riba jahiliyah. Karena semua terukur dan adanya bunga sebagai kompensasi dari nila waktu uang (time value of money). Sehingga bukan riba yang dilarang dalam al-Quran.
Bahkan mereka memotivasi setiap pengusaha untuk utang.
Bisnis tanpa utang, gak eksis boss..
Biarkan bank yang mengaudit usaha anda. Untuk membuktikan kejujuran anda.
Semakin banyak bank yang merestui pinjaman dana untuk anda, berarti anda semakin terpercaya.
Allahu akbar, jelas motivasi yang sangat membahayakan. Bisa pelaku riba di bank merasa yakin tidak ada yang bermasalah dari gajinya.
Kita bisa jawab dari beberapa sisi,
Pertama, bahwa riba bank kontemporer, tidak berbeda dengan riba jahiliyah. Bahkan riba bank lebih parah dari pada riba jahiliyah.
Kedua, riba jahiliyah tidak mesti berlipat ganda. Karena jika jatuh temponya pendek, tidak ada pelipatan utang.
Ketiga, dalam islam, riba sekecil apapun dilarang. Meskipun itu terukur. Karena riba jahiliyah pun terukur. Semua kembali kepada kesepakatan.
Dari Handzalah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad 21957, ad-Daruqutni 2880 dan dishihkan al-Albani)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Ibn Majah 2360, al-Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).
Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk membela riba bank, setelah memahami semua riba benilai dosa besar.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
PengusahaMuslim.com
SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK